Sunday, March 13, 2016

Makalah Sistem Hukum di Indonesia

3:12:00 AM // by Rahmat //



BAB I
PENDAHULUAN
A.                LATAR BELAKANG
Dalam filsafat hukum, salah satu materi yang dibicarakan adalah tujuan hukum. Gustav Radbruch, sebagai salah seorang legal scholar dari Jerman yang terkemuka, mengemukakan tujuan hukum yang terdiri dari tiga hal yakni: kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Pada awalnya, ia menyatakan bahwa tujuan kepastian menempati peringkat yang paling atas di antara tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II –dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu-, Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain. Memanglah demikian bahwa keadilan adalah tujuan hukum yang pertama dan utama, karena hal ini sesuai dengan hakekat atau ontologi hukum itu sendiri. Bahwa hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban melalui peraturan yang adil, yakni pengaturan kepentingankepentingan yang saling bertentangan dengan seimbang sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi bagiannya.2 Bahkan dapat dikatakan dalam seluruh sejarah filsafat hukum selalu memberikan tempat yang istimewa kepada keadilan sebagai suatu tujuan hukum.3 Jika secara filsafati hukum secara utama memang dibuat untuk menciptakan dan memberikan keadilan bagi rakyat suatu negara, maka apa yang terjadi di Indonesia masih perlu mendapat kritik yang mendalam. Arah pengembanan dan pembangunan hukum di Indonesia masih simpang siur yang secara logis menghasilkan resultante terseok-seoknya proses law enforcement (guna memberikan dan menegakkan keadilan bagi rakyat) dalam ruang Tata Hukum Indonesia. Keadilan secara sosial (keadilan secara bersama dan bukan keadilan menurut kebutuhan individualistis) bagi seluruh rakyat Indonesia4 kiranya masih sulit diwujudkan secara nyata oleh hukum Indonesia, bahkan hukum justru malah dirasa sering berperan dalam munculnya fenomena-fenomena ketidak-adilan khususnya yang menimpa rakyat kecil dan golongan masyarakat marjinal. Seringkali dalam panggung Hukum Indonesia, segolongan masyarakat dirampas haknya justru akibat oleh adanya suatu aturan hukum. Seperti halnya kontroversi Perda No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang disahkan oleh Pemprov DKI Jakarta beberapa saat lalu, dimana dalam Perda tersebut golongan masyarakat marjinal seperti pengemis, pengamen, hingga pedagang asongan dilarang melakukan aktifitasnya (mengemis, mengamen, dan berjualan asongan) dengan alasan mengganggu ketertiban umum. Perda ini walau sudah disetujui oleh DPRD Propinsi DKI Jakarta tetap mendapat tentangan yang keras dari berbagai pihak karena dirasakan hanya berperspektif normatif-legalistik tetapi mengabaikan aspek-aspek kemanusiaan yang ada sehingga dengan demikian mereka yang secara kelas sosial-ekonomi sudah termarjinalkan akan kian termarjinalkan lagi.5 Selain Perda ketertiban Umum Pemprov DKI Jakarta di atas, masih ada beberapa perda lain yang juga dirasakan kontroversial keberadaannya seperti -lagilagi- Perda Ketertiban Umum beberapa daerah di propinsi Banten yang memiliki pengaturan melarang wanita keluar malam di atas jam tertentu sehingga dinilai bias jender dan bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan. Adanya eksistensi suatu peraturan hukum positip yang justru dinilai memberikan ketidak adilan tidak hanya terdapat dalam perda saja. Dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi seperti halnya undang-undang sekalipun juga banyak yang dinilai justru  mengebiri rasa keadilan rakyat, khususnya rakyat kecil. Sebut saja UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga kerjaan, di mana dalam UU tersebut banyak dinilai kalangan buruh justru memperlemah kedudukan mereka dengan melegitimasi praktek hubungan kerja seperti halnya kerja kontrak dan sistem out sourcing yang sangat lemah dalam perlindungan hak-hak para pekerjanya.6 Di samping itu dalam sektor ekonomi, juga banyak produk undang-undang yang dinilai banyak kalangan mengebiri hak-hak ekonomi rakyat Indonesia seperti halnya UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air,7 UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas,8 ataupun UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,9 di mana kesemua undangundang tersebut di atas dinilai bersubstansikan semangat liberalisasi ekonomi yang berpotensial meminggirkan hak-hak sosial-ekonomi-budaya (ecosoc rights) dari rakyat. Terlepas dari substansi yang dinilai kontroversial dalam keseluruhan peraturan perundang-undangan sebagaimana dicontohkan baik dalam perda-perda maupun dalam undang-undang di atas, bagaimanapun secara faktual tidak bisa dipungkiri terdapat resistensi terhadap produk-produk hukum di atas sehingga keberlakuannya secara faktual empiris juga berpotensial tidak bekerja maksimal dan hal ini dari segi ilmu perancangan perundangundangan (legal drafting) jelas bukan merupakan produk hukum yang baik. Namun, yang menjadi permasalahan adalah walaupun produk-produk hukum seperti dicontohkan dalam perda-perda maupaun undang-undang di atas berpotensial (atau sudah?) menjadi produk hukum positip yang buruk karena secara substantif justru tidak mengakomodir rasa keadilan masyarakat banyak, namun secara yuridis kesemua produk hukum dalam contoh di atas sah dan legal sebagai suatu hukum positip karena telah memenuhi syarat-syarat perundangundangan baik syarat formil (telah memenuhi prosedur pembuatan dan dibuat oleh lembaga yang berwenang) maupun syarat materiilnya (berlaku secara umum).
B.                 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
-          Bagaimana Sistem Hukum Faktual Indonesia?

C.                Tujuan
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan Sistem Hukum Indonesia.




BAB II
PEMBAHASAN

A.                DASAR SISTEM  HUKUM INDONESIA
Mendasarkan diri pada contoh-contoh permasalahan dalam proses pengembanan hukum di Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas, maka akan terlihat bahwa apa yang diwujudkan dalam pengembanan Hukum Indonesia, mulai dari proses pembentukan hingga
penegakannya, seringkali justru tidak sesuai dengan apa yang diharapkan dan dicita-citakan
oleh masyarakat banyak, sehingga kemudian banyak menimbulkan reaksi negatif hingga resistensi atau penolakan dari banyak pihak. Namun, walaupun tidak sesuai dengan harapan
masyarakat, segala macam proses pengembanan hukum tersebut telah dapat dikatakan sah secara yuridis, atau dengan kata lain telah memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan untuk dapat dikatakan sebagai hukum (tentu saja dengan mengesampingkan untuk sementara fakta
pahit tentang fenomena mafia peradilan dalam sistem peradilan yang korup di negeri ini). Jika proses pengembanan hukum tersebut dikatakan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan
rakyat karena dirasakan bertentangan atau melanggar rasa keadilan masyarakat, maka berdasarkan contoh-contoh permasalahan hukum di Indonesia sebagaimana dijabarkan di atas
dapat diketahui bahwa pengembanan Hukum Indonesia tidaklah linier dengan tuntutan keadilan yang diharapkan oleh masyarakat banyak sebagai subyek sasaran dari adanya hukum tersebut. Jika demikian, maka jelas dalam banyak hal secara relatif dapat dikatakan
bahwa Hukum Indonesia tidaklah bertujuan secara pertama dan utama memberikan keadilan.
Pertanyaanya, bagaimana hal ini bisa terjadi? Jika terjadi fenomena adanya eksistensi suatu hukum yang justru bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka dalam hal ini dapat dikatakan telah terjadi suatu legal gap, yakni adanya gap atau jurang perbedaan antara apa yang diatur atau dikandung dalam substansi hukum positip yang ada dengan apa yang diharapkan serta diidealkan masyarakat menurut nilai-nilai dan rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam dimensi batiniah mereka.12 Dalam fenomena ini, terjadi perbedaaan value consciousness atau kesadaran akan nilai-nilai tentang apa yang baik dan yang buruk, apa yang benar dan yang salah, apa yang sesuai hukum dan yang bertentangan dengan hukum, antara kesadaran yang ada di masyarakat dan kesadaran yang dijabarkan di dalam hukum positip yang ada. Jika demikian maka nalar keadilan antara yang diharapkan oleh masyarakat dengan yang dikonsepkan dalam substansi aturan hukum yang ada jelas akan berbeda. Adanya fenomena legal gap ini dapat disebabkan paling tidak oleh dua hal:
Pertama, disebabkan oleh karena suatu produk hukum positip telah “ketinggalan jaman,” dalam artian bahwa pada awal masa pembentukannya suatu produk hukum positip telah mengakomodir nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Namun, karena nilai-nilai masyarakat yang merupakan bagian dari budaya tersebut bersifat dinamis dan berkembang sedangkan hukum positip yang ada bersifat statis, maka pada akhirnya terjadi gap antara substansi hukum positip tersebut dengan nilai-nilai masyarakat yang ada dikarenakan substansi hukum positip tersebut tidak mampu mengejar perkembangan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Kedua, memang sejak dari awal proses pembentukan hukum positip yang ada tidak memperhatikan rasa keadilan dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.
Berdasarkan kemungkinan penyebab terjadinya legal gap yang kedua, maka pertanyaannya adalah apakah yang menjadi raw material dalam pembentukan substansi hukum Indonesia? Friederich Carl von Savigny, legal scholar Jerman pencetus mazhab sejarah, memiliki pemikiran yang terkenal: “Das recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke” yang artinya bahwa hukum itu tidak dibuat, melainkan tumbuh berkembang bersama masyarakat. Secara lebih lanjut, von Savigny menyatakan bahwa hukum adalah cerminan jiwa rakyat (volksgeist). Dari sini kiranya jelas bahwa hukum pada hakekatnya adalah manifestasi nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, sehingga dengan demikian hukum tumbuh dan berkembang seiring perkembangan masyarakat karena hukum adalah bagian dari masyarakat, cerminan dari jiwa masyarakat, cerminan dari rasa keadilan rakyat. Sehingga, jika suatu hukum hendak dibuat dalam bentuk formal oleh negara maka hal yang seharusnya dijadikan sebagai sumber pembentuk substansi hukum tersebut tidak lain adalah nilai-nilai yang hidup di masyarakat, dengan demikian hukum positip tidak lain adalah formulasi formal dari value consciousness masyarakat dengan nalar keadilan berdasarkan rasa keadilan rakyat. Jika konsep di atas dilaksanakan dalam proses pengembanan Hukum Indonesia, maka dipastikan fenomena legal gap dapat dicegah dalam kegiatan pembentukan hukum.
Adanya substansi-substansi peraturan dalam berbagai produk hukum sebagaimana dicontohkan di atas, dimana secara nyata menimbulkan kontroversi dan resistensi di tengah masyarakat, jelas memperlihatkan bahwa secara substantif produk-produk hukum positip tersebut tidak memperhatikan value consciousness masyarakat secara maksimal, atau bahkan mungkin memang bermaksud mengabaikannya sama sekali. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, aturan-aturan hukum positip sebagaimana demikian secara potensial akan mengalami hambatan dalam persoalan efektifitasnya karena tidak memiliki keberlakuan secara faktualempiris atau keberlakuan secara sosiologis yang sempurna, dimana masyarakat secara logis akan sulit melaksanakan suatu aturan yang secara substantif justru bertentangan dengan
keyakinan dan nalar serta rasa keadilan mereka. Suatu keberlakuan faktual (dengan melihat kenyataan apakah suatu produk hukum ditaati atau tidak di dalam masyarakat) memanglah
dapat diterapkan secara paksa oleh penguasa melalui koersifitas kekuasaan, tetapi jika hal demikian yang diterapkan tentu hal ini bukanlah cerminan sebuah negara demokrasi yang baik. Namun, harus diakui bahwa adanya fakta pengabaian baik secara sebagian ataupun secara keseluruhan atas value consciousness masyarakat yang ada dalam substansi produkproduk hukum positip sebagaimana dicontohkan di atas tidak serta merta dapat membuat kita melakukan generalisir bahwa semua produk hukum positip Indonesia bersifat demikian. Sebagian hukum positip kita mungkin telah berusaha mengakomodir dan meresepsi nilai-nilai yang berkembang di masyarakat secara maksimal, namun jika demikian halnya maka pertanyaan kritis selanjutnya yang dapat diajukan adalah berkaitan dengan kemungkinan penyebab terjadinya legal gap yang pertama yakni sejauh manakah kemampuan hukum positip tersebut mengimbangi dinamisme nilai-nilai masyarakat yang diakomodasinya tersebut? Dalam ilmu hukum, terdapat adagium lama yang menyatakan: “Begitu hukum dipositipkan, maka pada saat itu juga hukum tersebut ketinggalan jaman.” Adagium ini pada hakekatnya menggambarkan betapa terbatasnya fleksibilitas hukum jika telah dipositipkan,13 karena hukum yang telah dipositipkan dalam bentuk tertentu semisal undang-undang akan memiliki sifat yang rijid dan pasti namun juga sekaligus bersifat kaku dan statis.
Berdasarkan atas kenyataan ini, maka secara logis akan sulit bagi suatu produk hukum positip untuk dapat mengejar perkembangan dinamisme nilai-nilai yang hidup di masyarakat sehingga potensi terjadinya legal gap akan selalu mengancam karena sesuatu yang sifatnya dinamis (yakni value consciousness masyarakat) jelas akan sangat sulit untuk diperangkapkan dalam hal yang sifatnya statis (hukum positip). Berdasarkan penjabaran ini, maka dapat terlihat bahwa adanya fenomena legal gap sebagai dasar dalam problematika substantif Hukum Indonesia menjadi suatu hal yang sulit dihindari, sehingga hal ini menandakan bahwa problematika Hukum Indonesia tidak saja berada pada persoalan substansinya melainkan telah meningkat pada tataran persoalan sistemis, persoalan sistem hukum yang diterapkan selama ini, persoalan dalam Civil Law System.

B.                 SYSTEM PROBLEMATIKA HUKUM INDONESIA
Sebagaimana telah dijabarkan di atas bahwa potensi legal gap menjadi sulit dihindari ketika suatu hukum telah dipositipkan dalam bentuk yang statis sepertihalnya undangundang. Namun, pemositipan hukum ke dalam bentuk yang rijid (tertulis) seperti undangundang ini justru merupakan prinsip yang utama dalam kultur Civil Law System, sistem hukum yang diadopsi Indonesia sekarang ini. Jika dijabarkan, maka terdapat pokok-pokok konsep dalam Civil Law System yang memiliki problematika di dalamnya karena memicu munculnya problematika dalam ruang Tata Hukum Indonesia, yakni antara lain:
Pertama, dalam kultur Civil Law System, hukum haruslah tertulis atau dituangkan dalam bentuk undang-undang (prinsip legisme).14 Undang-undang memiliki kelebihan dalam memenuhi tujuan kepastian, namun ia juga memiliki kelemahan karena sifatnya akan menjadi tidak fleksibel, kaku, dan statis. Penulisan adalah pembatasan, dan pembatasan atas suatu hal
yang sifatnya abstrak (pembatasan dalam konteks materi) dan dinamis (pembatasan dalam konteks waktu) seperti halnya value consciousness masyarakat ke dalam suatu undangundang
secara logis akan membawa kepada konsekuensi ketertinggalan substansi undangundang tersebut atas bahan pembentuknya (nilai-nilai masyarakat), dan dengan demikian fenomena legal gap sebagai dasar permasalahan substantif Hukum Indonesia akan selalu menjadi konsekuensi lanjutan yang tidak dapat terhindari. Suatu undang-undang memang memiliki mekanisme pembaharuan (legal reform) sebagai upaya meminimalisir sifat ketidak dinamisannya, namun setiap orang juga mengetahui bahwa memperbarui suatu undangundang baik melalui proses legislasi maupun proses ajudikasi oleh hakim bukanlah perkara yang gampang untuk dilakukan. Proses legislasi tidak dapat dipungkiri juga merupakan manifestasi proses pergulatan politik, dimana untuk menghasilkan suatu undang-undang yang baru tidak akan dapat dilangsungkan dalam waktu yang singkat karena membutuhkan upaya pencapaian kesepakatan atas kelompok-kelompok dengan visi dan misi yang berbeda-beda. Sedangkan pembaruan oleh hakim melalui putusannya (proses ajudikasi) juga tidak bisa dilakukan secara maksimal, karena kultur Civil Law System menghendaki hakim untuk mendasarkan diri secara ketat kepada bunyi undang-undang sehingga hal ini menyebabkan hakim dalam kultur Civil Law System tidak dapat menyimpang terlalu jauh dari apa yang telah tertulis di undang-undang, walaupun undang-undang tersebut telah ketinggalan jaman. Kedua, kultur Civil Law System mendasarkan diri pada filsafat positivisme hukum. Dengan demikian, dalam Civil Law System terdapat konsep bahwa tujuan utama yang disasar oleh hukum bukanlah keadilan melainkan kepastian, karena filsafat positivisme mengutamakan hal yang sifatnya jelas dan pasti (positif) di atas segalanya dengan alasan bahwa hanya hal yang bersifat pasti saja yang dapat dijadikan ukuran kebenaran.16 Berdasarkan hal ini, maka dalam kultur Civil Law System hukum diidentikkan dengan undang-undang, tidak ada hukum di luar undang-undang, sehingga satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, disebabkan hanya undang-undang sajalah bentuk hukum yang dapat memenuhi kriteria positivistik sebagaimana di atas. Dengan adanya konsep demikian, maka nalar hukum yang terbentuk adalah bahwa sumber hukum yang ada hanyalah undang-undang, sehingga rujukan tentang sistem nilai yang ada adalah apa yang telah diatur dalam undang-undang dan bukan sistem-sistem nilai yang lain (seperti halnya nilai yang berkembang di masyarakat). Sehingga, dari sini dapat terlihat bahwa selama suatu hal telah diatur dengan undang-undang secara jelas, maka tanpa alasan apapun undang-undang tersebut harus ditegakkan karena dialah hukumnya, walaupun secara substansi justru bertentangan dengan nilai-nilai dan rasa keadilan masyarakat. Pada akhirnya, adanya suatu legal gap antara value consciousness yang ada di masyarakat dengan yang ada pada substansi undang-undang bukanlah dianggap sebagai suatu persoalan karena apa yang adil tidaklah diukur dari seberapa mampukah masyararakat merasakannya sebagai suatu hal yang sesuai dengan rasa keadilan mereka melainkan seberapa sesuaikah putusan hakim yang ada dengan bunyi aturan dalam undang-undang. Dua hal di atas itulah yang merupakan konsep pokok dalam Civil Law System, yang jika dikaitkan dengan proses pengembanan Hukum Indonesia pokok-pokok pikiran di atas menyimpan problematika yang bersifat mendasar sehingga jika diterapkan dalam ruang Tata Hukum Indonesia seperti halnya yang terjadi saat ini secara logis akan menjadi pemicu munculnya problematika dalam proses pengembanan Hukum Indonesia seperti yang dicontohkan di awal tulisan ini. Dengan demikian sekarang telah jelas tergambar bahwa adanya problematika pengembanan Hukum Indonesia adalah bagian dari permasalahan sistemik Hukum Indonesia, permasalahan sistem hukum Indonesia (Civil Law System).



C.           HUKUM ADAT SEBAGAI PEMBANGUNAN HUKUM INDONESIA
Disamping dua hal pokok pikiran dalam Civil Law System yang memiliki permasalahan di dalamnya sehingga menjadi pemicu munculnya problematika dalam proses pengembanan Hukum Indonesia sebagaimana telah dijabarkan di atas, terdapat pula fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa Civil Law System sebagai sistem hukum moderen yang diterapkan Indonesia saat ini bukanlah merupakan sistem hukum asli Indonesia. Civil Law System adalah sistem hukum hasil transplantasi kekuasaan asing ke dalam bumi Indonesia melalui praktek kolonialisme pemerintah Belanda di wilayah nusantara. Civil Law System merupakan sistem hukum yang berkesejarahan pada peradaban Eropa daratan sejak era kekuasaan Romawi oleh Kaisar Justinianus pada abad ke-5 Masehi hingga masa kekuasaan Napoleon Bonaparte yang menganeksasi hampir keseluruhan wilayah Eropa daratan pada awal abad ke-19. Sehingga, Civil Law System adalah sistem hukum yang berdasarkan pada filsafat, paradigma berpikir, serta karakteristik peradaban Eropa barat, yang oleh karenanya bukan merupakan sistem hukum yang berlandaskan pada filsafat, paradigma berpikir, dan karakteristik asli bangsa Indonesia. Di sisi lain, sebelum masa kolonialisme hadir, bumi Nusantara bukanlah wilayah sosiologis yang hampa hukum. Di berbagai wilayah di Nusantara ini telah terdapat kesatuankesatuan masyarakat yang teratur, yang dikelola oleh suatu sistem nilai yang bersifat
tradisional dan dipercaya secara turun-temurun. Sistem nilai yang hidup di dalam masyarakat
yang mengelola keteraturan di antara mereka inilah yang oleh Snouck Hurgronje –sewaktu ia
menulis buku tentang masyarakat Aceh yang berjudul De Atjehers- dinamakan sebagai Adatrecht atau yang kemudian biasa diterjemahkan sebagai: Hukum Adat. Hukum adat adalah hukum yang bersumber pada ugeran-ugeran atau norma kehidupan sehari-hari yang langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan orang Indonesia asli dalam hal ini sebagai pernyataan rasa keadilan dalam hubungan pamrih, sehingga jelas sekali terlihat bahwa hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia yang dibuat oleh masyarakat Indonesia sendiri secara turun-temurun berdasarkan value consciousness mereka yang termanifestasi dalam kebiasaan-kebiasaan hidup sehari-hari dengan menggunakan ukuran nalar dan rasa keadilan mereka. Dengan demikian jika kembali pada pemikiran Von Savigny bahwa hukum adalah cerminan jiwa rakyat, maka hukum adatlah yang merupakan cerminan jiwa bangsa Indonesia. Hal di atas kiranya akan lebih diperjelas dengan melihat kepada kerakteristik hukum adat. Hukum adat memiliki corak, dan karakteristik sebagai berikut:
1. Komunalistik, artinya manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam
ikatan kemasyarakatan yang erat.
2. Religio-magis, artinya hukum adat selalu berkaitan dengan persoalan magis dan
spiritualisme (kepercayaan atas roh-roh nenek moyang, dsb).
3. Konkrit, artinya perhubungan-perhubungan hidup yang ada dalam hukum adat adalah perhubungan-perhubungan yang konkrit atau nyata. Seperti halnya, dalam hukum adat istilah jual-beli hanya dimaknai secara nyata yakni jika telah benar-benar ada pertukaran uang dan barang secara kontan, sehingga dalam hukum adat tidak dikenal sistem jual-beli secara kredit sebagaimana yang dikenal di BW.
4. Visual, artinya dalam hukum adat perhubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh
karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (seperti halnya siste panjer, peningset, dll).

D.                SEJARAH HUKUM DI INDONESIA
Periode Kolonialisme
Periode kolonialisme dibedakan menjadi tiga era, yaitu: Era VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga pendudukan Jepang.
Era voc
Pada era penjajahan VOC, sistem hukum yang digunakan bertujuan untuk:
1.      Keperluan ekspolitasi ekonomi untuk membantu krisis ekonomi di negera Belanda;
2.      Pendisiplinan rakyat asli Indonesia dengan sistem yang otoriter
3.      Perlindungan untuk orang-orang VOC, serta keluarga, dan para imigran Eropa.
Hukum Belanda diterapkan terhadap bangsa Belanda atau Eropa. Sedangkan untuk rakyat pribumi, yang berlaku ialah hukum-hukum yang dibuat oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata politik & pemerintahan pada zaman itu telah mengesampingkan hak-hak dasar rakyat di nusantara & menjadikan penderitaan yang pedih terhadap bangsa pribumi di masa itu.
Era liberal belanda
Tahun 1854 di Hindia-Belanda dikeluarkan Regeringsreglement (kemudian dinamakan RR 1854) atau Peraturan mengenai Tata Pemerintahan (di Hindia-Belanda) yang tujuannya adalah melindungi kepentingan usaha-usaha swasta di tanah jajahan & untuk yang pertama kalinya mencantumkan perlindungan hukum untuk rakyat pribumi dari pemerintahan jajahan yang sewenang-wenang. Hal ini bisa dilihat dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur soal pembatasan terhadap eksekutif (paling utama Residen) & kepolisian, dan juga jaminan soal proses peradilan yg bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap terjadi pada era ini, meskipun tidak lagi sekejam dahulu. Pembaharuan hukum yang didasari oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat pribumi, sebab eksploitasi masih terus terjadi.

Era Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
Politik Etis diterapkan  di awal abad ke-20. Kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum antara lain:
1.      Pendidikan bagi rakyat pribumi, termasuk juga pendidikan lanjutan hukum; 
2.      Pendirian Volksraad, yaitu lembaga perwakilan untuk kaum pribumi; 
3.      Manajemen organisasi pemerintahan, yang utama dari sisi efisiensi; 
4.      Manajemen lembaga peradilan, yang utama dalam hal profesionalitas; 
5.      Pembentukan peraturan perundang-undangan yg berorientasi pada kepastian hukum. 
Sampai saat hancurnya kolonialisme Belanda, pembaruan hukum di Hindia Belanda meninggalkan warisan: i) Pluralisme/dualisme hukum privat dan pluralisme/dualisme lembaga-lembaga peradilan; ii) Pengelompokan rakyat ke menjadi tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa & Non-Tionghoa, & Pribumi.

Masa penjajahan Jepang tidak banyak terjadi pembaruan hukum di semua peraturan perundang-undangan yang tidak berlawanan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sambil menghapus hak-hak istimewa orang-orang Belanda & Eropa lainnya. Sedikit perubahan perundang-undangan yang dilakukan: i) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang awalnya hanya berlaku untuk golongan Eropa & yang setara, diberlakukan juga untuk kaum Cina; ii) Beberapa peraturan militer diselipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang terjadi adalah: i) Penghapusan pluralisme/dualisme tata peradilan; ii) Unifikasi kejaksaan; iii) Penghapusan pembedaan polisi kota & lapangan/pedesaan; iv) Pembentukan lembaga pendidikan hukum; v) Pengisian secara besar-besaran jabatan-jabatan administrasi pemerintahan & hukum dengan rakyat pribumi.
Era Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal 
a. Era Revolusi Fisik
i) Melanjutkan unfikasi badan-badan peradilan dengan melaksanakan penyederhanaan; 
ii) Mengurangi serta membatasi peranan badan-badan pengadilan adat & swapraja, terkecuali badan-badan pengadilan agama yg bahkan diperkuat dengan pembentukan Mahkamah Islam Tinggi.

b. Era Demokrasi Liberal
Undang-undang Dasar Sementara 1950 yang sudah mengakui HAM. Namun pada era ini pembaharuan hukum & tata peradilan tidak banyak terjadi, yang terjadi adalah dilema untuk mempertahankan hukum & peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Selajutnya yang terjadi hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan & mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan & Kekuasaan Pengadilan.
Era Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru 
a. Era Demokrasi Terpimpin
Perkembangan dan dinamika hukum di era ini
Ø  Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan & mendudukan MA & badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif; 
Ø  Mengubah lambang hukum "dewi keadilan" menjadi "pohon beringin" yang berarti pengayoman; 
Ø  Memberikan kesempatan kepada eksekutif untuk ikut campur tangan secara langsung atas proses peradilan sesuai UU No.19/1964 & UU No.13/1965; 
Ø  Menyatakan bahwa peraturan hukum perdata pada masa pendudukan tidak berlaku kecuali hanya sebagai rujukan, maka dari itu hakim harus mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional & kontekstual.

b. Era Orde Baru
Pembaruan hukum pada masa Orde Baru dimulai dari penyingkiran hukum dalam proses pemerintahan dan politik, pembekuan UU Pokok Agraria, membentuk UU yang mempermudah modal dari luar masuk dengan UU Penanaman modal Asing, UU Pertambangan, dan UU Kehutanan. Selain itu, orde baru juga melancarkan: i) Pelemahan lembaga hukum di bawah kekuasaan eksekutif; ii) Pengendalian sistem pendidikan & pembatasan pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Kesimpulannya, pada era orba tidak terjadi perkembangan positif  hukum Nasional.


BAB III
PENUTUP

A.                KESIMPULAN
Dari keseluruhan penjabaran dalam tulisan ini, maka setidaknya dapat ditarik beberapa
kesimpulan. Antara lain:
1. Dalam ruang pembangunan dan pengembanan Hukum Indonesia saat ini terdapat problematika-problematika yang kompleks dan sistemis yang mengakibatkan sulitnya Hukum Indonesia mencapai tujuan filosofis dari hukum itu sendiri yaitu secara pertama dan utama untuk memberikan keadilan bagi rakyat Indonesia secara riil dan substantif. Problematika ini adalah akibat adanya keterasingan dalam ruang pembangunan dan pengembanan Hukum Indonesia itu sendiri, yakni pembangunan dan pengembanan hukum yang tercerabut dari hakekat aslinya sehingga muncul adanya fenomena legal gap yang merupakan dasar problematika substantif Hukum Indonesia. Keterasingan atau ketercerabutan pembangunan dan pengembangan Hukum Indonesia dari hakekat asalinya ini tercermin dari masih dipertahankannya Civil Law System yang pada dasarnya adalah sistem hukum asing hasil transplantasi oleh kekuasaan kolonial Belanda dalam rangka kolonialisme dan penjajahannya, yang memiliki konsep dan karakteristik yang amat sangat berbeda dengan karakteristik asli bangsa Indonesia, sehingga terus dipertahankannya sistem hukum asing ini dengan segala paradigma dan konsep hukum yang ada di dalamnya (seperti halnya paradigma filsafat positivisme hukum yang lebih mengutamakan tujuan kepastian di atas segalanya –termasuk keadilan-) secara niscaya membawa resultante pada problematika-problematika yang muncul dalam ruang pembangunan dan pengembanan Hukum Indonesia yang pada intinya berpokok pada semakin terjauhkannya tuntutan keadilan bagi rakyat.
2. Hukum adat dengan kedudukannya sebagai hukum asli bangsa Indonesia yang merupakan perwujudan nilai-nilai hidup yang berkembang di dalam masyarakat Indonesia sendiri, membawa akibat terletakkannya posisi Hukum Adat –baik secara yuridis normatif, filosofis, maupun secara sosiologis- sebagai sentral dan basis dalam ruang pembangunan dan pengembanan Hukum Indonesia, sehingga hukum adat seharusnya diletakkan sebagai pondasi dasar struktur hirarki Tata Hukum Indonesia di mana dalam hukum adat itulah segala macam aturan hukum positip Indonesia mendasarkan diri dan mengambil sumber substansinya