BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dalam filsafat hukum, salah satu materi yang
dibicarakan adalah tujuan hukum. Gustav Radbruch, sebagai salah seorang legal
scholar dari Jerman yang terkemuka, mengemukakan tujuan hukum yang terdiri
dari tiga hal yakni: kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Pada awalnya, ia
menyatakan bahwa tujuan kepastian menempati peringkat yang paling atas di
antara tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya
tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak
berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II –dengan jalan membuat hukum yang
mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu-, Radbruch pun
akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan
di atas tujuan hukum yang lain. Memanglah demikian bahwa keadilan adalah tujuan
hukum yang pertama dan utama, karena hal ini sesuai dengan hakekat atau
ontologi hukum itu sendiri. Bahwa hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban
melalui peraturan yang adil, yakni pengaturan kepentingankepentingan yang
saling bertentangan dengan seimbang sehingga setiap orang memperoleh sebanyak
mungkin apa yang menjadi bagiannya.2 Bahkan dapat dikatakan dalam seluruh sejarah
filsafat hukum selalu memberikan tempat yang istimewa kepada keadilan sebagai suatu
tujuan hukum.3 Jika secara filsafati hukum secara utama memang dibuat untuk
menciptakan dan memberikan keadilan bagi rakyat suatu negara, maka apa yang
terjadi di Indonesia masih perlu mendapat kritik yang mendalam. Arah
pengembanan dan pembangunan hukum di Indonesia masih simpang siur yang secara
logis menghasilkan resultante terseok-seoknya proses law enforcement (guna
memberikan dan menegakkan keadilan bagi rakyat) dalam ruang Tata Hukum
Indonesia. Keadilan secara sosial (keadilan secara bersama dan bukan keadilan
menurut kebutuhan individualistis) bagi seluruh rakyat Indonesia4 kiranya masih
sulit diwujudkan secara nyata oleh hukum Indonesia, bahkan hukum justru malah
dirasa sering berperan dalam munculnya fenomena-fenomena ketidak-adilan
khususnya yang menimpa rakyat kecil dan golongan masyarakat marjinal.
Seringkali dalam panggung Hukum Indonesia, segolongan masyarakat dirampas
haknya justru akibat oleh adanya suatu aturan hukum. Seperti halnya kontroversi
Perda No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang disahkan oleh Pemprov DKI
Jakarta beberapa saat lalu, dimana dalam Perda tersebut golongan masyarakat
marjinal seperti pengemis, pengamen, hingga pedagang asongan dilarang melakukan
aktifitasnya (mengemis, mengamen, dan berjualan asongan) dengan alasan
mengganggu ketertiban umum. Perda ini walau sudah disetujui oleh DPRD Propinsi DKI
Jakarta tetap mendapat tentangan yang keras dari berbagai pihak karena
dirasakan hanya berperspektif normatif-legalistik tetapi mengabaikan
aspek-aspek kemanusiaan yang ada sehingga dengan demikian mereka yang secara
kelas sosial-ekonomi sudah termarjinalkan akan kian termarjinalkan lagi.5
Selain Perda ketertiban Umum Pemprov DKI Jakarta di atas, masih ada beberapa
perda lain yang juga dirasakan kontroversial keberadaannya seperti -lagilagi- Perda
Ketertiban Umum beberapa daerah di propinsi Banten yang memiliki pengaturan melarang
wanita keluar malam di atas jam tertentu sehingga dinilai bias jender dan
bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan. Adanya eksistensi suatu
peraturan hukum positip yang justru dinilai memberikan ketidak adilan tidak
hanya terdapat dalam perda saja. Dalam peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi seperti halnya undang-undang sekalipun juga banyak yang dinilai justru mengebiri rasa keadilan rakyat, khususnya
rakyat kecil. Sebut saja UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga kerjaan, di mana
dalam UU tersebut banyak dinilai kalangan buruh justru memperlemah kedudukan
mereka dengan melegitimasi praktek hubungan kerja seperti halnya kerja kontrak
dan sistem out sourcing yang sangat lemah dalam perlindungan hak-hak para
pekerjanya.6 Di samping itu dalam sektor ekonomi, juga banyak produk
undang-undang yang dinilai banyak kalangan mengebiri hak-hak ekonomi rakyat
Indonesia seperti halnya UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air,7 UU No 22
Tahun 2001 tentang Migas,8 ataupun UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal,9 di mana kesemua undangundang tersebut di atas dinilai bersubstansikan
semangat liberalisasi ekonomi yang berpotensial meminggirkan hak-hak
sosial-ekonomi-budaya (ecosoc rights) dari rakyat. Terlepas dari
substansi yang dinilai kontroversial dalam keseluruhan peraturan perundang-undangan
sebagaimana dicontohkan baik dalam perda-perda maupun dalam undang-undang di
atas, bagaimanapun secara faktual tidak bisa dipungkiri terdapat resistensi terhadap
produk-produk hukum di atas sehingga keberlakuannya secara faktual empiris juga
berpotensial tidak bekerja maksimal dan hal ini dari segi ilmu perancangan
perundangundangan (legal drafting) jelas bukan merupakan produk hukum
yang baik. Namun, yang menjadi permasalahan adalah walaupun produk-produk hukum
seperti dicontohkan dalam perda-perda maupaun undang-undang di atas
berpotensial (atau sudah?) menjadi produk hukum positip yang buruk karena
secara substantif justru tidak mengakomodir rasa keadilan masyarakat banyak,
namun secara yuridis kesemua produk hukum dalam contoh di atas sah dan legal
sebagai suatu hukum positip karena telah memenuhi syarat-syarat
perundangundangan baik syarat formil (telah memenuhi prosedur pembuatan dan
dibuat oleh lembaga yang berwenang) maupun syarat materiilnya (berlaku secara
umum).
B.
Rumusan masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
-
Bagaimana Sistem Hukum Faktual Indonesia?
C.
Tujuan
Sejalan dengan rumusan masalah di atas,
makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan Sistem Hukum
Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
DASAR SISTEM HUKUM INDONESIA
Mendasarkan diri pada contoh-contoh permasalahan
dalam proses pengembanan hukum di Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas,
maka akan terlihat bahwa apa yang diwujudkan dalam pengembanan Hukum Indonesia,
mulai dari proses pembentukan hingga
penegakannya,
seringkali justru tidak sesuai dengan apa yang diharapkan dan dicita-citakan
oleh
masyarakat banyak, sehingga kemudian banyak menimbulkan reaksi negatif hingga resistensi
atau penolakan dari banyak pihak. Namun, walaupun tidak sesuai dengan harapan
masyarakat,
segala macam proses pengembanan hukum tersebut telah dapat dikatakan sah secara
yuridis, atau dengan kata lain telah memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan
untuk dapat dikatakan sebagai hukum (tentu saja dengan mengesampingkan untuk sementara
fakta
pahit
tentang fenomena mafia peradilan dalam sistem peradilan yang korup di negeri
ini). Jika proses pengembanan hukum tersebut dikatakan tidak sesuai dengan apa
yang diharapkan
rakyat
karena dirasakan bertentangan atau melanggar rasa keadilan masyarakat, maka berdasarkan
contoh-contoh permasalahan hukum di Indonesia sebagaimana dijabarkan di atas
dapat
diketahui bahwa pengembanan Hukum Indonesia tidaklah linier dengan tuntutan keadilan
yang diharapkan oleh masyarakat banyak sebagai subyek sasaran dari adanya hukum
tersebut. Jika demikian, maka jelas dalam banyak hal secara relatif dapat
dikatakan
bahwa
Hukum Indonesia tidaklah bertujuan secara pertama dan utama memberikan
keadilan.
Pertanyaanya,
bagaimana hal ini bisa terjadi? Jika terjadi fenomena adanya eksistensi suatu
hukum yang justru bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka dalam hal
ini dapat dikatakan telah terjadi suatu legal gap, yakni adanya gap atau
jurang perbedaan antara apa yang diatur atau dikandung dalam substansi hukum
positip yang ada dengan apa yang diharapkan serta diidealkan masyarakat menurut
nilai-nilai dan rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam dimensi batiniah
mereka.12 Dalam fenomena ini, terjadi perbedaaan value consciousness atau
kesadaran akan nilai-nilai tentang apa yang baik dan yang buruk, apa yang benar
dan yang salah, apa yang sesuai hukum dan yang bertentangan dengan hukum,
antara kesadaran yang ada di masyarakat dan kesadaran yang dijabarkan di dalam
hukum positip yang ada. Jika demikian maka nalar keadilan antara yang
diharapkan oleh masyarakat dengan yang dikonsepkan dalam substansi aturan hukum
yang ada jelas akan berbeda. Adanya fenomena legal gap ini dapat
disebabkan paling tidak oleh dua hal:
Pertama, disebabkan oleh karena suatu produk hukum
positip telah “ketinggalan jaman,” dalam artian bahwa pada awal masa
pembentukannya suatu produk hukum positip telah mengakomodir nilai-nilai yang
berkembang di masyarakat. Namun, karena nilai-nilai masyarakat yang merupakan
bagian dari budaya tersebut bersifat dinamis dan berkembang sedangkan hukum
positip yang ada bersifat statis, maka pada akhirnya terjadi gap antara substansi
hukum positip tersebut dengan nilai-nilai masyarakat yang ada dikarenakan substansi
hukum positip tersebut tidak mampu mengejar perkembangan nilai-nilai yang hidup
di masyarakat. Kedua, memang sejak dari awal proses pembentukan hukum positip
yang ada tidak memperhatikan rasa keadilan dan nilai-nilai yang berkembang di
masyarakat.
Berdasarkan kemungkinan penyebab terjadinya legal
gap yang kedua, maka pertanyaannya adalah apakah yang menjadi raw
material dalam pembentukan substansi hukum Indonesia? Friederich Carl von
Savigny, legal scholar Jerman pencetus mazhab sejarah, memiliki
pemikiran yang terkenal: “Das recht wird nicht gemacht, est ist und wird
mit dem volke” yang artinya bahwa hukum itu tidak dibuat, melainkan
tumbuh berkembang bersama masyarakat. Secara lebih lanjut, von Savigny
menyatakan bahwa hukum adalah cerminan jiwa rakyat (volksgeist). Dari
sini kiranya jelas bahwa hukum pada hakekatnya adalah manifestasi nilai-nilai
yang berkembang di masyarakat, sehingga dengan demikian hukum tumbuh dan
berkembang seiring perkembangan masyarakat karena hukum adalah bagian dari
masyarakat, cerminan dari jiwa masyarakat, cerminan dari rasa keadilan rakyat. Sehingga,
jika suatu hukum hendak dibuat dalam bentuk formal oleh negara maka hal yang seharusnya
dijadikan sebagai sumber pembentuk substansi hukum tersebut tidak lain adalah nilai-nilai
yang hidup di masyarakat, dengan demikian hukum positip tidak lain adalah formulasi
formal dari value consciousness masyarakat dengan nalar keadilan
berdasarkan rasa keadilan rakyat. Jika konsep di atas dilaksanakan dalam proses
pengembanan Hukum Indonesia, maka dipastikan fenomena legal gap dapat
dicegah dalam kegiatan pembentukan hukum.
Adanya substansi-substansi peraturan dalam berbagai
produk hukum sebagaimana dicontohkan di atas, dimana secara nyata menimbulkan
kontroversi dan resistensi di tengah masyarakat, jelas memperlihatkan bahwa
secara substantif produk-produk hukum positip tersebut tidak memperhatikan value
consciousness masyarakat secara maksimal, atau bahkan mungkin memang
bermaksud mengabaikannya sama sekali. Sebagaimana telah dikemukakan di atas,
aturan-aturan hukum positip sebagaimana demikian secara potensial akan
mengalami hambatan dalam persoalan efektifitasnya karena tidak memiliki
keberlakuan secara faktualempiris atau keberlakuan secara sosiologis yang
sempurna, dimana masyarakat secara logis akan sulit melaksanakan suatu aturan
yang secara substantif justru bertentangan dengan
keyakinan
dan nalar serta rasa keadilan mereka. Suatu keberlakuan faktual (dengan melihat
kenyataan apakah suatu produk hukum ditaati atau tidak di dalam masyarakat)
memanglah
dapat
diterapkan secara paksa oleh penguasa melalui koersifitas kekuasaan, tetapi
jika hal demikian yang diterapkan tentu hal ini bukanlah cerminan sebuah negara
demokrasi yang baik. Namun, harus diakui bahwa adanya fakta pengabaian baik
secara sebagian ataupun secara keseluruhan atas value consciousness masyarakat
yang ada dalam substansi produkproduk hukum positip sebagaimana dicontohkan di
atas tidak serta merta dapat membuat kita melakukan generalisir bahwa semua
produk hukum positip Indonesia bersifat demikian. Sebagian hukum positip kita
mungkin telah berusaha mengakomodir dan meresepsi nilai-nilai yang berkembang
di masyarakat secara maksimal, namun jika demikian halnya maka pertanyaan
kritis selanjutnya yang dapat diajukan adalah berkaitan dengan kemungkinan penyebab
terjadinya legal gap yang pertama yakni sejauh manakah kemampuan hukum positip
tersebut mengimbangi dinamisme nilai-nilai masyarakat yang diakomodasinya tersebut?
Dalam ilmu hukum, terdapat adagium lama yang menyatakan: “Begitu hukum dipositipkan,
maka pada saat itu juga hukum tersebut ketinggalan jaman.” Adagium ini pada hakekatnya
menggambarkan betapa terbatasnya fleksibilitas hukum jika telah dipositipkan,13
karena hukum yang telah dipositipkan dalam bentuk tertentu semisal
undang-undang akan memiliki sifat yang rijid dan pasti namun juga sekaligus
bersifat kaku dan statis.
Berdasarkan atas kenyataan ini, maka secara logis
akan sulit bagi suatu produk hukum positip untuk dapat mengejar perkembangan
dinamisme nilai-nilai yang hidup di masyarakat sehingga potensi terjadinya legal
gap akan selalu mengancam karena sesuatu yang sifatnya dinamis (yakni value
consciousness masyarakat) jelas akan sangat sulit untuk diperangkapkan
dalam hal yang sifatnya statis (hukum positip). Berdasarkan penjabaran ini,
maka dapat terlihat bahwa adanya fenomena legal gap sebagai dasar dalam
problematika substantif Hukum Indonesia menjadi suatu hal yang sulit dihindari,
sehingga hal ini menandakan bahwa problematika Hukum Indonesia tidak saja berada
pada persoalan substansinya melainkan telah meningkat pada tataran persoalan sistemis,
persoalan sistem hukum yang diterapkan selama ini, persoalan dalam Civil Law
System.
B.
SYSTEM
PROBLEMATIKA HUKUM INDONESIA
Sebagaimana telah dijabarkan di atas bahwa potensi legal
gap menjadi sulit dihindari ketika suatu hukum telah dipositipkan dalam
bentuk yang statis sepertihalnya undangundang. Namun, pemositipan hukum ke
dalam bentuk yang rijid (tertulis) seperti undangundang ini justru merupakan
prinsip yang utama dalam kultur Civil Law System, sistem hukum yang
diadopsi Indonesia sekarang ini. Jika dijabarkan, maka terdapat pokok-pokok konsep
dalam Civil Law System yang memiliki problematika di dalamnya karena
memicu munculnya problematika dalam ruang Tata Hukum Indonesia, yakni antara
lain:
Pertama,
dalam kultur Civil Law System, hukum haruslah tertulis atau dituangkan dalam
bentuk undang-undang (prinsip legisme).14 Undang-undang memiliki kelebihan
dalam memenuhi tujuan kepastian, namun ia juga memiliki kelemahan karena
sifatnya akan menjadi tidak fleksibel, kaku, dan statis. Penulisan adalah
pembatasan, dan pembatasan atas suatu hal
yang
sifatnya abstrak (pembatasan dalam konteks materi) dan dinamis (pembatasan
dalam konteks waktu) seperti halnya value consciousness masyarakat ke
dalam suatu undangundang
secara
logis akan membawa kepada konsekuensi ketertinggalan substansi undangundang tersebut
atas bahan pembentuknya (nilai-nilai masyarakat), dan dengan demikian fenomena legal
gap sebagai dasar permasalahan substantif Hukum Indonesia akan selalu menjadi
konsekuensi lanjutan yang tidak dapat terhindari. Suatu undang-undang memang memiliki
mekanisme pembaharuan (legal reform) sebagai upaya meminimalisir sifat
ketidak dinamisannya, namun setiap orang juga mengetahui bahwa memperbarui
suatu undangundang baik melalui proses legislasi maupun proses ajudikasi oleh
hakim bukanlah perkara yang gampang untuk dilakukan. Proses legislasi tidak
dapat dipungkiri juga merupakan manifestasi proses pergulatan politik, dimana
untuk menghasilkan suatu undang-undang yang baru tidak akan dapat dilangsungkan
dalam waktu yang singkat karena membutuhkan upaya pencapaian kesepakatan atas
kelompok-kelompok dengan visi dan misi yang berbeda-beda. Sedangkan pembaruan
oleh hakim melalui putusannya (proses ajudikasi) juga tidak bisa dilakukan
secara maksimal, karena kultur Civil Law System menghendaki hakim untuk
mendasarkan diri secara ketat kepada bunyi undang-undang sehingga hal ini
menyebabkan hakim dalam kultur Civil Law System tidak dapat menyimpang
terlalu jauh dari apa yang telah tertulis di undang-undang, walaupun
undang-undang tersebut telah ketinggalan jaman. Kedua, kultur Civil Law
System mendasarkan diri pada filsafat positivisme hukum. Dengan demikian,
dalam Civil Law System terdapat konsep bahwa tujuan utama yang disasar oleh
hukum bukanlah keadilan melainkan kepastian, karena filsafat positivisme mengutamakan
hal yang sifatnya jelas dan pasti (positif) di atas segalanya dengan alasan bahwa
hanya hal yang bersifat pasti saja yang dapat dijadikan ukuran kebenaran.16 Berdasarkan
hal ini, maka dalam kultur Civil Law System hukum diidentikkan dengan undang-undang,
tidak ada hukum di luar undang-undang, sehingga satu-satunya sumber hukum
adalah undang-undang, disebabkan hanya undang-undang sajalah bentuk hukum yang
dapat memenuhi kriteria positivistik sebagaimana di atas. Dengan adanya konsep demikian,
maka nalar hukum yang terbentuk adalah bahwa sumber hukum yang ada hanyalah undang-undang,
sehingga rujukan tentang sistem nilai yang ada adalah apa yang telah diatur dalam
undang-undang dan bukan sistem-sistem nilai yang lain (seperti halnya nilai
yang berkembang di masyarakat). Sehingga, dari sini dapat terlihat bahwa selama
suatu hal telah diatur dengan undang-undang secara jelas, maka tanpa alasan
apapun undang-undang tersebut harus ditegakkan karena dialah hukumnya, walaupun
secara substansi justru bertentangan dengan nilai-nilai dan rasa keadilan
masyarakat. Pada akhirnya, adanya suatu legal gap antara value
consciousness yang ada di masyarakat dengan yang ada pada substansi undang-undang
bukanlah dianggap sebagai suatu persoalan karena apa yang adil tidaklah diukur
dari seberapa mampukah masyararakat merasakannya sebagai suatu hal yang sesuai dengan
rasa keadilan mereka melainkan seberapa sesuaikah putusan hakim yang ada dengan
bunyi aturan dalam undang-undang. Dua hal di atas itulah yang merupakan konsep
pokok dalam Civil Law System, yang jika dikaitkan dengan proses
pengembanan Hukum Indonesia pokok-pokok pikiran di atas menyimpan problematika
yang bersifat mendasar sehingga jika diterapkan dalam ruang Tata Hukum
Indonesia seperti halnya yang terjadi saat ini secara logis akan menjadi pemicu
munculnya problematika dalam proses pengembanan Hukum Indonesia seperti yang dicontohkan
di awal tulisan ini. Dengan demikian sekarang telah jelas tergambar bahwa
adanya problematika pengembanan Hukum Indonesia adalah bagian dari permasalahan
sistemik Hukum Indonesia, permasalahan sistem hukum Indonesia (Civil Law
System).
C.
HUKUM ADAT SEBAGAI PEMBANGUNAN
HUKUM INDONESIA
Disamping dua hal pokok pikiran dalam Civil Law
System yang memiliki permasalahan di dalamnya sehingga menjadi pemicu
munculnya problematika dalam proses pengembanan Hukum Indonesia sebagaimana
telah dijabarkan di atas, terdapat pula fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa
Civil Law System sebagai sistem hukum moderen yang diterapkan Indonesia
saat ini bukanlah merupakan sistem hukum asli Indonesia. Civil Law System
adalah sistem hukum hasil transplantasi kekuasaan asing ke dalam bumi
Indonesia melalui praktek kolonialisme pemerintah Belanda di wilayah nusantara.
Civil Law System merupakan sistem hukum yang berkesejarahan pada
peradaban Eropa daratan sejak era kekuasaan Romawi oleh Kaisar Justinianus pada
abad ke-5 Masehi hingga masa kekuasaan Napoleon Bonaparte yang menganeksasi
hampir keseluruhan wilayah Eropa daratan pada awal abad ke-19. Sehingga, Civil
Law System adalah sistem hukum yang berdasarkan pada filsafat, paradigma
berpikir, serta karakteristik peradaban Eropa barat, yang oleh karenanya bukan
merupakan sistem hukum yang berlandaskan pada filsafat, paradigma berpikir, dan
karakteristik asli bangsa Indonesia. Di sisi lain, sebelum masa kolonialisme
hadir, bumi Nusantara bukanlah wilayah sosiologis yang hampa hukum. Di berbagai
wilayah di Nusantara ini telah terdapat kesatuankesatuan masyarakat yang
teratur, yang dikelola oleh suatu sistem nilai yang bersifat
tradisional
dan dipercaya secara turun-temurun. Sistem nilai yang hidup di dalam masyarakat
yang
mengelola keteraturan di antara mereka inilah yang oleh Snouck Hurgronje
–sewaktu ia
menulis
buku tentang masyarakat Aceh yang berjudul De Atjehers- dinamakan
sebagai Adatrecht atau yang kemudian biasa diterjemahkan sebagai: Hukum
Adat. Hukum adat adalah hukum yang bersumber pada ugeran-ugeran atau
norma kehidupan sehari-hari yang langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan
orang Indonesia asli dalam hal ini sebagai pernyataan rasa keadilan dalam
hubungan pamrih, sehingga jelas sekali terlihat bahwa hukum adat adalah hukum
asli bangsa Indonesia yang dibuat oleh masyarakat Indonesia sendiri secara
turun-temurun berdasarkan value consciousness mereka yang termanifestasi
dalam kebiasaan-kebiasaan hidup sehari-hari dengan menggunakan ukuran nalar dan
rasa keadilan mereka. Dengan demikian jika kembali pada pemikiran Von Savigny
bahwa hukum adalah cerminan jiwa rakyat, maka hukum adatlah yang merupakan cerminan
jiwa bangsa Indonesia. Hal di atas kiranya akan lebih diperjelas dengan melihat
kepada kerakteristik hukum adat. Hukum adat memiliki corak, dan karakteristik
sebagai berikut:
1.
Komunalistik, artinya manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam
ikatan
kemasyarakatan yang erat.
2.
Religio-magis, artinya hukum adat selalu berkaitan dengan persoalan magis dan
spiritualisme
(kepercayaan atas roh-roh nenek moyang, dsb).
3.
Konkrit, artinya perhubungan-perhubungan hidup yang ada dalam hukum adat adalah
perhubungan-perhubungan yang konkrit atau nyata. Seperti halnya, dalam hukum adat
istilah jual-beli hanya dimaknai secara nyata yakni jika telah benar-benar ada pertukaran
uang dan barang secara kontan, sehingga dalam hukum adat tidak dikenal sistem
jual-beli secara kredit sebagaimana yang dikenal di BW.
4.
Visual, artinya dalam hukum adat perhubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh
karena
ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (seperti halnya siste panjer,
peningset, dll).
Periode
Kolonialisme
Periode
kolonialisme dibedakan menjadi tiga era, yaitu: Era VOC, Liberal Belanda dan
Politik etis hingga pendudukan Jepang.
Era voc
Pada
era penjajahan VOC, sistem hukum yang digunakan bertujuan untuk:
1. Keperluan
ekspolitasi ekonomi untuk membantu krisis ekonomi di negera Belanda;
2. Pendisiplinan
rakyat asli Indonesia dengan sistem yang otoriter
3. Perlindungan
untuk orang-orang VOC, serta keluarga, dan para imigran Eropa.
Hukum Belanda diterapkan terhadap bangsa
Belanda atau Eropa. Sedangkan untuk rakyat pribumi, yang berlaku ialah
hukum-hukum yang dibuat oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata politik
& pemerintahan pada zaman itu telah mengesampingkan hak-hak dasar rakyat di
nusantara & menjadikan penderitaan yang pedih terhadap bangsa pribumi di
masa itu.
Era
liberal belanda
Tahun 1854 di Hindia-Belanda dikeluarkan
Regeringsreglement (kemudian dinamakan RR 1854) atau Peraturan mengenai Tata
Pemerintahan (di Hindia-Belanda) yang tujuannya adalah melindungi kepentingan
usaha-usaha swasta di tanah jajahan & untuk yang pertama kalinya
mencantumkan perlindungan hukum untuk rakyat pribumi dari pemerintahan jajahan
yang sewenang-wenang. Hal ini bisa dilihat dalam (Regeringsreglement) RR 1854
yang mengatur soal pembatasan terhadap eksekutif (paling utama Residen) &
kepolisian, dan juga jaminan soal proses peradilan yg bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih
tetap terjadi pada era ini, meskipun tidak lagi sekejam dahulu. Pembaharuan
hukum yang didasari oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak dapat
meningkatkan kesejahteraan rakyat pribumi, sebab eksploitasi masih terus
terjadi.
Era
Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
Politik Etis diterapkan di awal
abad ke-20. Kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung
dengan pembaharuan hukum antara lain:
1.
Pendidikan bagi rakyat pribumi, termasuk
juga pendidikan lanjutan hukum;
2.
Pendirian Volksraad, yaitu lembaga
perwakilan untuk kaum pribumi;
3.
Manajemen organisasi pemerintahan, yang
utama dari sisi efisiensi;
4.
Manajemen lembaga peradilan, yang utama
dalam hal profesionalitas;
5.
Pembentukan peraturan perundang-undangan
yg berorientasi pada kepastian hukum.
Sampai saat hancurnya kolonialisme
Belanda, pembaruan hukum di Hindia Belanda meninggalkan warisan: i)
Pluralisme/dualisme hukum privat dan pluralisme/dualisme lembaga-lembaga
peradilan; ii) Pengelompokan rakyat ke menjadi tiga golongan; Eropa dan yang
disamakan, Timur Asing, Tionghoa & Non-Tionghoa, & Pribumi.
Masa penjajahan Jepang tidak banyak
terjadi pembaruan hukum di semua peraturan perundang-undangan yang tidak
berlawanan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sambil menghapus
hak-hak istimewa orang-orang Belanda & Eropa lainnya. Sedikit perubahan
perundang-undangan yang dilakukan: i) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang
awalnya hanya berlaku untuk golongan Eropa & yang setara, diberlakukan juga
untuk kaum Cina; ii) Beberapa peraturan militer diselipkan dalam peraturan
perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang
terjadi adalah: i) Penghapusan pluralisme/dualisme tata peradilan; ii)
Unifikasi kejaksaan; iii) Penghapusan pembedaan polisi kota &
lapangan/pedesaan; iv) Pembentukan lembaga pendidikan hukum; v) Pengisian
secara besar-besaran jabatan-jabatan administrasi pemerintahan & hukum
dengan rakyat pribumi.
Era Revolusi Fisik
Sampai Demokrasi Liberal
a. Era Revolusi Fisik
i) Melanjutkan unfikasi badan-badan
peradilan dengan melaksanakan penyederhanaan;
ii) Mengurangi serta membatasi peranan
badan-badan pengadilan adat & swapraja, terkecuali badan-badan pengadilan
agama yg bahkan diperkuat dengan pembentukan Mahkamah Islam Tinggi.
b.
Era Demokrasi Liberal
Undang-undang Dasar Sementara 1950 yang
sudah mengakui HAM. Namun pada era ini pembaharuan hukum & tata peradilan
tidak banyak terjadi, yang terjadi adalah dilema untuk mempertahankan hukum
& peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum
nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan
internasional. Selajutnya yang terjadi hanyalah unifikasi peradilan dengan
menghapuskan seluruh badan-badan & mekanisme pengadilan atau penyelesaian
sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950
tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan &
Kekuasaan Pengadilan.
Era Demokrasi Terpimpin
Sampai Orde Baru
a.
Era Demokrasi Terpimpin
Perkembangan
dan dinamika hukum di era ini
Ø Menghapuskan
doktrin pemisahan kekuasaan & mendudukan MA & badan-badan pengadilan di
bawah lembaga eksekutif;
Ø Mengubah
lambang hukum "dewi keadilan" menjadi "pohon beringin" yang
berarti pengayoman;
Ø Memberikan
kesempatan kepada eksekutif untuk ikut campur tangan secara langsung atas
proses peradilan sesuai UU No.19/1964 & UU No.13/1965;
Ø Menyatakan
bahwa peraturan hukum perdata pada masa pendudukan tidak berlaku kecuali hanya
sebagai rujukan, maka dari itu hakim harus mengembangkan putusan-putusan yang lebih
situasional & kontekstual.
b.
Era Orde Baru
Pembaruan
hukum pada masa Orde Baru dimulai dari penyingkiran hukum dalam proses
pemerintahan dan politik, pembekuan UU Pokok Agraria, membentuk UU yang
mempermudah modal dari luar masuk dengan UU Penanaman modal Asing, UU
Pertambangan, dan UU Kehutanan. Selain itu, orde baru juga melancarkan: i)
Pelemahan lembaga hukum di bawah kekuasaan eksekutif; ii) Pengendalian sistem
pendidikan & pembatasan pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Kesimpulannya,
pada era orba tidak terjadi perkembangan positif hukum Nasional.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
keseluruhan penjabaran dalam tulisan ini, maka setidaknya dapat ditarik
beberapa
kesimpulan.
Antara lain:
1. Dalam ruang pembangunan dan pengembanan Hukum
Indonesia saat ini terdapat problematika-problematika yang kompleks dan
sistemis yang mengakibatkan sulitnya Hukum Indonesia mencapai tujuan filosofis
dari hukum itu sendiri yaitu secara pertama dan utama untuk memberikan keadilan
bagi rakyat Indonesia secara riil dan substantif. Problematika ini adalah
akibat adanya keterasingan dalam ruang pembangunan dan pengembanan Hukum
Indonesia itu sendiri, yakni pembangunan dan pengembanan hukum yang tercerabut
dari hakekat aslinya sehingga muncul adanya fenomena legal gap yang
merupakan dasar problematika substantif Hukum Indonesia. Keterasingan atau ketercerabutan
pembangunan dan pengembangan Hukum Indonesia dari hakekat asalinya ini
tercermin dari masih dipertahankannya Civil Law System yang pada
dasarnya adalah sistem hukum asing hasil transplantasi oleh kekuasaan kolonial
Belanda dalam rangka kolonialisme dan penjajahannya, yang memiliki konsep dan
karakteristik yang amat sangat berbeda dengan karakteristik asli bangsa
Indonesia, sehingga terus dipertahankannya sistem hukum asing ini dengan segala
paradigma dan konsep hukum yang ada di dalamnya (seperti halnya paradigma
filsafat positivisme hukum yang lebih mengutamakan tujuan kepastian di atas
segalanya –termasuk keadilan-) secara niscaya membawa resultante pada
problematika-problematika yang muncul dalam ruang pembangunan dan pengembanan
Hukum Indonesia yang pada intinya berpokok pada semakin terjauhkannya tuntutan
keadilan bagi rakyat.
2. Hukum adat dengan kedudukannya sebagai hukum asli
bangsa Indonesia yang merupakan perwujudan nilai-nilai hidup yang berkembang di
dalam masyarakat Indonesia sendiri, membawa akibat terletakkannya posisi Hukum
Adat –baik secara yuridis normatif, filosofis, maupun secara sosiologis-
sebagai sentral dan basis dalam ruang pembangunan dan pengembanan Hukum
Indonesia, sehingga hukum adat seharusnya diletakkan sebagai pondasi dasar
struktur hirarki Tata Hukum Indonesia di mana dalam hukum adat itulah segala
macam aturan hukum positip Indonesia mendasarkan diri dan mengambil sumber substansinya